Beranda | Artikel
Seri Faidah Kitab Tauhid [10]
Kamis, 27 Oktober 2016

Bismillah.

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi akhir zaman dan teladan manusia hingga akhir masa. Amma ba’du.

Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah sebuah kitab yang sangat istimewa dalam dakwah Islam. Telah kita baca ayat-ayat dan hadits yang beliau bawakan di bagian mukadimah kitab ini. Banyak sekali faidah dan pelajaran yang bisa kita petik darinya. Diantara faidah penting dari mukadimah yang beliau bawakan ini adalah kewajiban merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam memahami agama.

Hal ini bisa kita lihat dari metode beliau dalam menyajikan keterangan dengan mencantumkan ayat dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini mencerminkan ketawadhu’an para ulama dalam menjelaskan ilmu agama. Karena mereka tidak mau mendahulukan akal dan pemikirannya di atas wahyu dari Allah dan sunnah nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para ulama menyampaikan ilmu ini kepada manusia agar mereka mengenal hakikat ibadah dan tujuan penciptaan mereka di alam dunia. Bahwa mereka hidup bukan untuk sebuah kesia-siaan belaka. Akan tetapi ada hikmah yang sangat agung di balik itu semua. Hikmah itu adalah supaya manusia mewujudkan nilai-nilai ibadah kepada Allah. Inilah kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; berisi penjelasan tentang petunjuk hidup di alam dunia ini. Dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat kekal dan abadi.

Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji mereka; siapakah diantara mereka yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Tauhid inilah amal yang paling utama. Tidak akan diterima amal-amal yang lain tanpa tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -bahkan segenap rasul- menjadikan dakwah tauhid sebagai agenda utama perbaikan umat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tiada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa’ : 25)

Dari sinilah kita akan mengetahui letak kekeliruan sebagian da’i Islam yang menekankan dakwahnya untuk hal-hal lain dengan mengesampingkan atau menomorduakan dakwah tauhid. Sungguh, ini merupakan penyimpangan yang sangat fatal dalam dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar. Tauhid adalah asas di dalam Islam, tidak akan tegak islam dan iman tanpa tauhid. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Syirik yang ini merupakan lawan dan perusak tauhid adalah sebab kemunduran dan kehancuran manusia. Tidak main-main Allah telah memberikan peringatan keras akan bahayanya kepada setiap nabi dalam ayat (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Oleh sebab itu para ulama rabbani memberikan nasihat bagi para da’i untuk memprioritaskan dakwah tauhid. Kita jelaskan kepada umat apa itu tauhid, apa saja yang bisa merusaknya, dan apa saja yang bisa menyempurnakannya. Terlalu banyak bukti di tengah masyarakat kita yang menunjukkan bahwa masalah tauhid ini tidak dimengerti oleh mereka. Lihatlah praktek perdukunan, pengagungan kuburan, pemberian sembelihan kepada penunggu tempat ini atau tempat itu, anggapan sial karena bulan ini atau hari anu, anggapan bahwa semua agama adalah benar dan membawa ke surga, dsb. Ini adalah bukti-bukti nyata betapa jauhnya pemahaman sebagian besar umat ini tentang tauhid yang menjadi tujuan hidup mereka.

Contoh lagi, banyak orang yang masih memahami bahwa kalimat tauhid laa ilaha illallah maknanya adalah ‘tidak ada pencipta selain Allah‘. Ada juga yang ketika ditanya kepada mereka apa makna laa ilaha illallah dijawab, ‘tidak ada tuhan selain Allah’. Ketika ditanya apa makna ‘tuhan’ dia menjawab ‘sesembahan’. Padahal sesembahan selain Allah itu banyak -dan semuanya adalah batil- sedangkan yang benar Allah saja. Oleh sebab itu makna yang benar adalah ‘tidak ada sesembahan yang benar selain Allah’. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah lah yang haq, sedangkan segala yang mereka seru selain-Nya adalah batil.” (al-Hajj : 62). Sebab jika dikatakan laa ilaha illallah artinya ‘tidak ada tuhan/sesembahan selain Allah’ maka ini memberikan konsekuensi batil yaitu bahwa semua sesembahan itu adalah Allah, karena tidak ada sesembahan kecuali itu adalah Allah; ini jelas keliru.

Mengapa ‘tiada pencipta selain Allah’ itu bukan makna laa ilaha illallah? Sebab kata ‘ilah’ dalam bahasa arab bermakna sesembahan (alma’buud), bukan pencipta (alkhaliq). Oleh karena itu ‘laa ilaha’ maknanya ‘tidak ada sesembahan’ bukan ‘tiada pencipta’. Selain itu, semata-mata meyakini bahwa satu-satunya pencipta adalah Allah belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Bahkan kaum musyrik masa silam telah mengakui hal ini; bahwa Allah lah yang menciptakan mereka dan memberikan rezeki kepada mereka dan yang mengatur segala urusan di alam semesta. Meskipun demikian ternyata Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi mereka dan memerintahkan mereka untuk mengucapkan kalimat tauhid namun mereka menolaknya. Hal ini menunjukkan bahwa kalimat tauhid menuntut dihapuskannya peribadatan kepada selain Allah. Inilah yang tidak dikehendaki oleh kaum musyrikin yang dahulu maupun yang sekarang.

Cobalah anda tanyakan hal ini kepada orang-orang yang dianggap berilmu di tengah masyarakat, tanyakan makna kalimat tauhid ini kepada mereka yang mengaku sebagai aktifis islam atau cendekiawan dan kaum terpelajar; niscaya akan anda dapati bahwa banyak diantara mereka yang belum memahami makna kalimat tauhid ini dengan baik. Bahkan anda juga akan menjumpai orang-orang yang tidak paham apa itu Islam! Bahkan meragukan Islam! Sebagaimana perkataan Ulil Abshar Abdalla di dalam majalah GATRA, 21 Desember 2002, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (lihat dalam buku Pluralisme Agama : Haram, karya Adian Husaini, M.A., hal. 38)

Kita katakan, ‘Subhanallah, ini adalah kedustaan yang sangat besar!’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidaklah ada seorang pun diantara umat ini yang mendengar kenabianku apakah dia beragama Yahudi atau Nasrani lalu meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Tidak sedikit contoh perkataan dan tulisan menyimpang dari tokoh-tokoh yang dianggap sebagai kaum intelektual dan moderat atau modernis -apalagi yang berhaluan liberal- yang menunjukkan betapa jauhnya pemahaman mereka dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang lebih parah lagi adalah kekeliruan ini bukan hanya dalam perkara amaliah lahiriah, bahkan ia sudah meracuni pemikiran, hati, dan aqidah. Apakah kita hendak menutup mata dari ini semua?


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-kitab-tauhid-10/